Sunday, April 21

Demokrasi dan Tingkat Intelektualitas Masyarakat

Demokrasi yang kita ketahui sampai saat ini merupakan sebuah sistem pemerintah yang dilaksanakan dengan mengatasnamakan rakyat. Umumnya, dikenal dengan kata "Dari Rakyat, Untuk Rakyat, Oleh Rakyat". Rakyat memilih pemimpin yang berasal dari rakyat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat. Mulai dari tingkat legislatif hingga eksekutif.

Rakyat memiliki peran yang besar dalam menentukan Negara yang lebih baik dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun. Buruk dan baiknya Negara akan ditentukan oleh rakyat. Oleh karena itu, rakyat yang teraplikasikan sistem demokrasi di Negaranya harus memiliki tingkat intelektualitas yang baik. 

Tingkat intelektualitas sangat berpengaruh dalam pemilihan 



Sahabat; Investasi Yang Berharga
Edisi I
            Setiap orang pasti memilih sebuah komunitas atau wadah dimana mereka dapat menyatukan pikiran dan hobi, begitu juga aku dan kawan-kawanku. Awalnya aku hanya ingin membantu suamiku yang notabennya seorang pegawai di salah satu perpustakaan milik asing di sebuah universitas ternama di Jakarta.
            Pertama kali aku membantu suami mengadakan sebuah acara seminar dibantu oleh teman-teman sekelasku. Kemudian untuk seminar selanjutnya teman sekelasku sudah tidak bisa berpartisipasi sebagai panitia, maka aku dan suami mencoba untuk mengoptimalkan teman-teman yang ikut belajar bahasa denganku. Dari seminar tersebut aku berkenalan dengan seseorang yang menurutku ia bagian dari masa laluku.
            Ya, masa laluku, masa-masa aku SMA. Ia seseorang yang berasal dari SMA yang sama denganku. Perasaan bahagia mendatangiku, walaupun kalau ditarik ulur, dia adalah adik kelasku. Akhirnya dari acara itu, kami semakin dekat dan sering berbagi cerita baik semasa SMA maupun sekarang. Kebetulan kami adalah satu almamater dan satu angkatan saat ini di kampus, hanya kelas kami yang berbeda.
            Anggap saja temanku itu bernama Imut. Menurutku aku dan dia hampir memiliki karakter yang sama. Melihatnya seperti melihatku beberapa tahun yang lalu, tomboy, energik, dan bebas. Keaktifannya dalam segala bidang mengingatkanku beberapa tahun yang lalu diriku. Ia pun sering mengajakku untuk ikut aktif di teater, tapi dengan keadaanku yang sudah mengemban banyak peran saat ini, aku tak mungkin menambahkan kegiatanku lagi. Dua puluh empat jam bagiku tidak cukup untuk melaksanakan beberapa peran yang aku emban.
            Saat itu kami mulai pertememanan hingga kami bertemu dengan teman-teman yang lain. Kami enam sekawan, dua perempuan dan empat laki-laki. Kami melengkapi satu sama lain, membantu satu sama lain, tidak ada yang lebih berharga daripada kebahagiaan satu sama lain dari kami. Kami ber-enam sangatlah memiliki karakter yang berbeda, dan kita berasal dari fakultas yang berbeda kecuali aku dan imut.
            Aku, Imut, Ashari, Fadhlullah, Mosthafavi, dan Sita. Kami benar-benar merasakan kebersamaan yang berarti, suamiku pun ikut bergabung bersama teman-temanku. Namun latarbelakang yang berbeda suamiku membuatnya agak sedikit kurang memahami pembicaraan yang sedang kami bincangkan, tapi ia tetap bergabung dengan senang hati.
            Aku, saat ini statusku adalah istri orang atau sudah menikah. Walaupun statusku di KTP masih lajang, maklum pengantin baru dan baru beranak satu, sekalipun sudah menikah dan punya anak, aku masih menjalani kuliah di salah satu fakultas Universitas Islam ternama di Jakarta. Kalau dilihat dari karakter yang terdapat di salah satu buku yang biasa kami baca, aku itu termasuk orang yang koleris melankolis, agak sedikit galak, ceria, tapi kadang suka menyendiri kalo lagi sedih. Ya itulah aku.
            Imut, ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Jiwanya bisa dibilang pemimpin tapi gak suka menyuruh. Itulah uniknya Imut. Sosoknya yang selalu ceria dan energik membuatnya tak ada hentinya untuk beraktifitas. Bukan hanya aktifitas kuliah, tapi organisasi di luar kampus pun ia geluti. Walaupun di kelas ia lebih sering menjadi mustami’ (pendengar) tapi ia juga terkadang suka berkomentar. Dia tidak hanya pandai dalam dunia kampus, tapi ia pintar dalam menggoyangkan tangannya di dapur. Masakannya sangat menggoyang lidah orang yang mencobanya. Itulah imut, dia bisa sukses dengan apa yang ia lakukan.
            Ashari, ia pun anak pertama dalam keluarga. Ia laki-laki berhati lembut, easy going dan pekerja keras, tapi karena beberapa faktor ia tidak boleh lelah sedikit saja. Karena hal itu akan menyebabkannya sakit. Namun segala keterbatasan yang ia miliki tidak membatasi ia untuk berkarya. Saat ini ia sedang menjalani program strata dua, ia lebih dulu memulai perkuliahan strata satunya dulu, walaupun begitu kami tetap sejalan. Belum terlihat jiwa kepemimpinan pada dirinya, namun segala sesuatunya bisa dicapai melalui proses.
            Fadhlullah, temanku yang satu ini sangat unik, cerdas tapi tidak pernah tahu apa kecerdasan yang ia punya, energik tapi kurang bisa bagi waktu. Di saat kita istirahat ia melakukan tugas dan pekerjaannya, kuat pula ngerokoknya, ya itulah Fadhlullah, cara hidupnya berbeda dengan kami semua. Melihat cara ia mendesain banner dan publikasi untuk acara-acara kami, terlihat hobbi dan kegemarannya dalam mendesain. anehnya ia berada di jurusan Perbankan Syari’ah, tapi itu bisa ia kembangkan di luar dari perkuliahan yang ia jalani.
            Mosthafavi, lagi-lagi temanku yang satu ini adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tomboy, energik, tapi cukup agamis. Khasnya adalah tawanya yang selalu mengeluarkan suara keras, ia pandai berbahasa inggris, bahkan sudah seperti ‘bule’ yang berkicau. Ia dari jurusan yang berbeda dengan aku dan Imut. Otha kami memanggilnya, ia berada di jurusan umum yang ada di Universitas kami. Ia pun salah satu yang berlatarbelakang sama denganku dan Imut, ya berasal dari sekolah SMA ternama di Bandung.
            Sita, temanku yang satu ini bukanlah anak pertama, tapi cukup mandiri dan tidak manja. Sita memiliki keunikan yang tidak dimiliki kita ber-lima. Gayanya selalu terlihat ‘jilbaber’, memakai gamis dan jilbab yang agak panjang itulah cirri khasnya berpakaian. Sangat berbeda dari aku, Imut maupun Otha. Namun karakter kami tidak jauh berbeda, ia ceria, supel, cerdas, dan energik. Mungkin beberapa kesamaan kami inilah yang membuat kami bisa menjadi selalu bersama dan merasakan kenyamanan. Pakaiannya bukanlah hal yang membatasinya untuk lebih maju, itulah yang ku lihat dari sosoknya.
            Itulah kami ber-enam, merasakan kenyamanan satu sama lain. Berbagi pengalaman untuk kemajuan bersama, berbagi ilmu yang kami dapatkan di bangku kuliah. Karena kami berbeda jurusan, ilmu yang kami dapat juga berbeda. Tapi diskusi atau perbincangan yang kita lakukan tidak berlangsung dengan keseriusan seperti di bangku perkuliahan biasanya. Diskusi kami dihiasi dengan canda tawa, snack dan makanan serta minuman, bahkan kita punya ide-ide gila beberapa tahun ke depan.
            Menutupi kekurangan masing-masing adalah cinta kami bukan kewajiban kami. Kebahagiaan salah satu dari kami adalah kebahagiaan kami bersama. Kesedihan dan duka salah satu kami merupakan bagian dari kami, termasuk kesedihan yang melanda si Imut. Hal ini yang membuat Ana dan Ashari merasa berat menghadiri resepsi pernikahan Imut. Berbahagia atas penderitaan orang lain bukan sifat manusia.
            Itulah sekilas perkenalan pertama kami,,, semoga cerita ini dapat terus berlanjut. Amiin..

Sahabat; Investasi Yang Berharga
Edisi I
            Setiap orang pasti memilih sebuah komunitas atau wadah dimana mereka dapat menyatukan pikiran dan hobi, begitu juga aku dan kawan-kawanku. Awalnya aku hanya ingin membantu suamiku yang notabennya seorang pegawai di salah satu perpustakaan milik asing di sebuah universitas ternama di Jakarta.
            Pertama kali aku membantu suami mengadakan sebuah acara seminar dibantu oleh teman-teman sekelasku. Kemudian untuk seminar selanjutnya teman sekelasku sudah tidak bisa berpartisipasi sebagai panitia, maka aku dan suami mencoba untuk mengoptimalkan teman-teman yang ikut belajar bahasa denganku. Dari seminar tersebut aku berkenalan dengan seseorang yang menurutku ia bagian dari masa laluku.
            Ya, masa laluku, masa-masa aku SMA. Ia seseorang yang berasal dari SMA yang sama denganku. Perasaan bahagia mendatangiku, walaupun kalau ditarik ulur, dia adalah adik kelasku. Akhirnya dari acara itu, kami semakin dekat dan sering berbagi cerita baik semasa SMA maupun sekarang. Kebetulan kami adalah satu almamater dan satu angkatan saat ini di kampus, hanya kelas kami yang berbeda.
            Anggap saja temanku itu bernama Imut. Menurutku aku dan dia hampir memiliki karakter yang sama. Melihatnya seperti melihatku beberapa tahun yang lalu, tomboy, energik, dan bebas. Keaktifannya dalam segala bidang mengingatkanku beberapa tahun yang lalu diriku. Ia pun sering mengajakku untuk ikut aktif di teater, tapi dengan keadaanku yang sudah mengemban banyak peran saat ini, aku tak mungkin menambahkan kegiatanku lagi. Dua puluh empat jam bagiku tidak cukup untuk melaksanakan beberapa peran yang aku emban.
            Saat itu kami mulai pertememanan hingga kami bertemu dengan teman-teman yang lain. Kami enam sekawan, dua perempuan dan empat laki-laki. Kami melengkapi satu sama lain, membantu satu sama lain, tidak ada yang lebih berharga daripada kebahagiaan satu sama lain dari kami. Kami ber-enam sangatlah memiliki karakter yang berbeda, dan kita berasal dari fakultas yang berbeda kecuali aku dan imut.
            Aku, Imut, Ashari, Fadhlullah, Mosthafavi, dan Sita. Kami benar-benar merasakan kebersamaan yang berarti, suamiku pun ikut bergabung bersama teman-temanku. Namun latarbelakang yang berbeda suamiku membuatnya agak sedikit kurang memahami pembicaraan yang sedang kami bincangkan, tapi ia tetap bergabung dengan senang hati.
            Aku, saat ini statusku adalah istri orang atau sudah menikah. Walaupun statusku di KTP masih lajang, maklum pengantin baru dan baru beranak satu, sekalipun sudah menikah dan punya anak, aku masih menjalani kuliah di salah satu fakultas Universitas Islam ternama di Jakarta. Kalau dilihat dari karakter yang terdapat di salah satu buku yang biasa kami baca, aku itu termasuk orang yang koleris melankolis, agak sedikit galak, ceria, tapi kadang suka menyendiri kalo lagi sedih. Ya itulah aku.
            Imut, ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Jiwanya bisa dibilang pemimpin tapi gak suka menyuruh. Itulah uniknya Imut. Sosoknya yang selalu ceria dan energik membuatnya tak ada hentinya untuk beraktifitas. Bukan hanya aktifitas kuliah, tapi organisasi di luar kampus pun ia geluti. Walaupun di kelas ia lebih sering menjadi mustami’ (pendengar) tapi ia juga terkadang suka berkomentar. Dia tidak hanya pandai dalam dunia kampus, tapi ia pintar dalam menggoyangkan tangannya di dapur. Masakannya sangat menggoyang lidah orang yang mencobanya. Itulah imut, dia bisa sukses dengan apa yang ia lakukan.
            Ashari, ia pun anak pertama dalam keluarga. Ia laki-laki berhati lembut, easy going dan pekerja keras, tapi karena beberapa faktor ia tidak boleh lelah sedikit saja. Karena hal itu akan menyebabkannya sakit. Namun segala keterbatasan yang ia miliki tidak membatasi ia untuk berkarya. Saat ini ia sedang menjalani program strata dua, ia lebih dulu memulai perkuliahan strata satunya dulu, walaupun begitu kami tetap sejalan. Belum terlihat jiwa kepemimpinan pada dirinya, namun segala sesuatunya bisa dicapai melalui proses.
            Fadhlullah, temanku yang satu ini sangat unik, cerdas tapi tidak pernah tahu apa kecerdasan yang ia punya, energik tapi kurang bisa bagi waktu. Di saat kita istirahat ia melakukan tugas dan pekerjaannya, kuat pula ngerokoknya, ya itulah Fadhlullah, cara hidupnya berbeda dengan kami semua. Melihat cara ia mendesain banner dan publikasi untuk acara-acara kami, terlihat hobbi dan kegemarannya dalam mendesain. anehnya ia berada di jurusan Perbankan Syari’ah, tapi itu bisa ia kembangkan di luar dari perkuliahan yang ia jalani.
            Mosthafavi, lagi-lagi temanku yang satu ini adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tomboy, energik, tapi cukup agamis. Khasnya adalah tawanya yang selalu mengeluarkan suara keras, ia pandai berbahasa inggris, bahkan sudah seperti ‘bule’ yang berkicau. Ia dari jurusan yang berbeda dengan aku dan Imut. Otha kami memanggilnya, ia berada di jurusan umum yang ada di Universitas kami. Ia pun salah satu yang berlatarbelakang sama denganku dan Imut, ya berasal dari sekolah SMA ternama di Bandung.
            Sita, temanku yang satu ini bukanlah anak pertama, tapi cukup mandiri dan tidak manja. Sita memiliki keunikan yang tidak dimiliki kita ber-lima. Gayanya selalu terlihat ‘jilbaber’, memakai gamis dan jilbab yang agak panjang itulah cirri khasnya berpakaian. Sangat berbeda dari aku, Imut maupun Otha. Namun karakter kami tidak jauh berbeda, ia ceria, supel, cerdas, dan energik. Mungkin beberapa kesamaan kami inilah yang membuat kami bisa menjadi selalu bersama dan merasakan kenyamanan. Pakaiannya bukanlah hal yang membatasinya untuk lebih maju, itulah yang ku lihat dari sosoknya.
            Itulah kami ber-enam, merasakan kenyamanan satu sama lain. Berbagi pengalaman untuk kemajuan bersama, berbagi ilmu yang kami dapatkan di bangku kuliah. Karena kami berbeda jurusan, ilmu yang kami dapat juga berbeda. Tapi diskusi atau perbincangan yang kita lakukan tidak berlangsung dengan keseriusan seperti di bangku perkuliahan biasanya. Diskusi kami dihiasi dengan canda tawa, snack dan makanan serta minuman, bahkan kita punya ide-ide gila beberapa tahun ke depan.
            Menutupi kekurangan masing-masing adalah cinta kami bukan kewajiban kami. Kebahagiaan salah satu dari kami adalah kebahagiaan kami bersama. Kesedihan dan duka salah satu kami merupakan bagian dari kami, termasuk kesedihan yang melanda si Imut. Hal ini yang membuat Ana dan Ashari merasa berat menghadiri resepsi pernikahan Imut. Berbahagia atas penderitaan orang lain bukan sifat manusia.
            Itulah sekilas perkenalan pertama kami,,, semoga cerita ini dapat terus berlanjut. Amiin..