Sahabat; Investasi Yang Berharga
Edisi I
Setiap orang pasti memilih sebuah
komunitas atau wadah dimana mereka dapat menyatukan pikiran dan hobi, begitu
juga aku dan kawan-kawanku. Awalnya aku hanya ingin membantu suamiku yang
notabennya seorang pegawai di salah satu perpustakaan milik asing di sebuah
universitas ternama di Jakarta.
Pertama kali aku membantu suami
mengadakan sebuah acara seminar dibantu oleh teman-teman sekelasku. Kemudian untuk
seminar selanjutnya teman sekelasku sudah tidak bisa berpartisipasi sebagai
panitia, maka aku dan suami mencoba untuk mengoptimalkan teman-teman yang ikut
belajar bahasa denganku. Dari seminar tersebut aku berkenalan dengan seseorang
yang menurutku ia bagian dari masa laluku.
Ya, masa laluku, masa-masa aku SMA.
Ia seseorang yang berasal dari SMA yang sama denganku. Perasaan bahagia
mendatangiku, walaupun kalau ditarik ulur, dia adalah adik kelasku. Akhirnya
dari acara itu, kami semakin dekat dan sering berbagi cerita baik semasa SMA
maupun sekarang. Kebetulan kami adalah satu almamater dan satu angkatan saat
ini di kampus, hanya kelas kami yang berbeda.
Anggap saja temanku itu bernama
Imut. Menurutku aku dan dia hampir memiliki karakter yang sama. Melihatnya
seperti melihatku beberapa tahun yang lalu, tomboy, energik, dan bebas.
Keaktifannya dalam segala bidang mengingatkanku beberapa tahun yang lalu
diriku. Ia pun sering mengajakku untuk ikut aktif di teater, tapi dengan
keadaanku yang sudah mengemban banyak peran saat ini, aku tak mungkin
menambahkan kegiatanku lagi. Dua puluh empat jam bagiku tidak cukup untuk
melaksanakan beberapa peran yang aku emban.
Saat itu kami mulai pertememanan
hingga kami bertemu dengan teman-teman yang lain. Kami enam sekawan, dua
perempuan dan empat laki-laki. Kami melengkapi satu sama lain, membantu satu
sama lain, tidak ada yang lebih berharga daripada kebahagiaan satu sama lain
dari kami. Kami ber-enam sangatlah memiliki karakter yang berbeda, dan kita
berasal dari fakultas yang berbeda kecuali aku dan imut.
Aku, Imut, Ashari, Fadhlullah,
Mosthafavi, dan Sita. Kami benar-benar merasakan kebersamaan yang berarti,
suamiku pun ikut bergabung bersama teman-temanku. Namun latarbelakang yang
berbeda suamiku membuatnya agak sedikit kurang memahami pembicaraan yang sedang
kami bincangkan, tapi ia tetap bergabung dengan senang hati.
Aku, saat ini statusku adalah istri
orang atau sudah menikah. Walaupun statusku di KTP masih lajang, maklum
pengantin baru dan baru beranak satu, sekalipun sudah menikah dan punya anak,
aku masih menjalani kuliah di salah satu fakultas Universitas Islam ternama di
Jakarta. Kalau dilihat dari karakter yang terdapat di salah satu buku yang
biasa kami baca, aku itu termasuk orang yang koleris melankolis, agak sedikit
galak, ceria, tapi kadang suka menyendiri kalo lagi sedih. Ya itulah aku.
Imut, ia adalah anak pertama dari
tiga bersaudara. Jiwanya bisa dibilang pemimpin tapi gak suka menyuruh. Itulah
uniknya Imut. Sosoknya yang selalu ceria dan energik membuatnya tak ada
hentinya untuk beraktifitas. Bukan hanya aktifitas kuliah, tapi organisasi di
luar kampus pun ia geluti. Walaupun di kelas ia lebih sering menjadi mustami’
(pendengar) tapi ia juga terkadang suka berkomentar. Dia tidak hanya pandai dalam
dunia kampus, tapi ia pintar dalam menggoyangkan tangannya di dapur. Masakannya
sangat menggoyang lidah orang yang mencobanya. Itulah imut, dia bisa sukses
dengan apa yang ia lakukan.
Ashari, ia pun anak pertama dalam
keluarga. Ia laki-laki berhati lembut, easy going dan pekerja keras, tapi
karena beberapa faktor ia tidak boleh lelah sedikit saja. Karena hal itu akan
menyebabkannya sakit. Namun segala keterbatasan yang ia miliki tidak membatasi
ia untuk berkarya. Saat ini ia sedang menjalani program strata dua, ia lebih
dulu memulai perkuliahan strata satunya dulu, walaupun begitu kami tetap
sejalan. Belum terlihat jiwa kepemimpinan pada dirinya, namun segala sesuatunya
bisa dicapai melalui proses.
Fadhlullah, temanku yang satu ini
sangat unik, cerdas tapi tidak pernah tahu apa kecerdasan yang ia punya,
energik tapi kurang bisa bagi waktu. Di saat kita istirahat ia melakukan tugas
dan pekerjaannya, kuat pula ngerokoknya, ya itulah Fadhlullah, cara hidupnya
berbeda dengan kami semua. Melihat cara ia mendesain banner dan publikasi untuk
acara-acara kami, terlihat hobbi dan kegemarannya dalam mendesain. anehnya ia
berada di jurusan Perbankan Syari’ah, tapi itu bisa ia kembangkan di
luar dari perkuliahan yang ia jalani.
Mosthafavi, lagi-lagi temanku yang
satu ini adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tomboy, energik, tapi cukup
agamis. Khasnya adalah tawanya yang selalu mengeluarkan suara keras, ia pandai
berbahasa inggris, bahkan sudah seperti ‘bule’ yang berkicau. Ia dari jurusan yang
berbeda dengan aku dan Imut. Otha kami memanggilnya, ia berada di jurusan umum
yang ada di Universitas kami. Ia pun salah satu yang berlatarbelakang sama
denganku dan Imut, ya berasal dari sekolah SMA ternama di Bandung.
Sita, temanku yang satu ini bukanlah
anak pertama, tapi cukup mandiri dan tidak manja. Sita memiliki keunikan yang
tidak dimiliki kita ber-lima. Gayanya selalu terlihat ‘jilbaber’, memakai gamis
dan jilbab yang agak panjang itulah cirri khasnya berpakaian. Sangat berbeda
dari aku, Imut maupun Otha. Namun karakter kami tidak jauh berbeda, ia ceria,
supel, cerdas, dan energik. Mungkin beberapa kesamaan kami inilah yang membuat
kami bisa menjadi selalu bersama dan merasakan kenyamanan. Pakaiannya bukanlah
hal yang membatasinya untuk lebih maju, itulah yang ku lihat dari sosoknya.
Itulah kami ber-enam, merasakan
kenyamanan satu sama lain. Berbagi pengalaman untuk kemajuan bersama, berbagi
ilmu yang kami dapatkan di bangku kuliah. Karena kami berbeda jurusan, ilmu
yang kami dapat juga berbeda. Tapi diskusi atau perbincangan yang kita lakukan
tidak berlangsung dengan keseriusan seperti di bangku perkuliahan biasanya. Diskusi
kami dihiasi dengan canda tawa, snack dan makanan serta minuman, bahkan kita
punya ide-ide gila beberapa tahun ke depan.
Menutupi kekurangan masing-masing
adalah cinta kami bukan kewajiban kami. Kebahagiaan salah satu dari kami adalah
kebahagiaan kami bersama. Kesedihan dan duka salah satu kami merupakan bagian
dari kami, termasuk kesedihan yang melanda si Imut. Hal ini yang membuat Ana
dan Ashari merasa berat menghadiri resepsi pernikahan Imut. Berbahagia atas
penderitaan orang lain bukan sifat manusia.
Itulah sekilas perkenalan pertama
kami,,, semoga cerita ini dapat terus berlanjut. Amiin..
No comments:
Post a Comment